Peringati Milad GAM ke 38, Mantan Kombatan Maknai Perdamaian Tanpa Keadilan
Kita
awali dengan membaca bismillahirrahmannirrahim, selanjutnya mari
sama-sama kita bacakan Surah Al Fatihah tiga kali untuk arwah para
syuhada, para pemimpin kita yang telah syahid di masa Konflik Aceh dalam
membela kebenaran, menuntut keadilan, membela harkat dan martabat
rakyat Aceh. Damailah Negeriku sejahteralah bangsaku, Amin Yarabbal
Alamin.
Selamat
Hari jadi GAM ke 38, 4 Desember 1976-4 Desember 2014. Bila hari ini
adalah Ulang tahun GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang ke 38, maka hari ini
pula kami memperingati hari gerakan perlawanan rakyat terhadap negara
yang tidak mampu memberi rasa keadilan bagi rakyatnya yang telah
mengorbankan harta, darah dan nyawa demi berdirinya sebuah negara
kesatuan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Dengan
semangat 4 Desember 1976, dari masa perjuangan bersenjata hingga ke
perjuangan masa damai ini, rasa nasionalisme kita jangan meredup
walaupun sudah 10 kali kita merayakan upacara ini secara sederhana,
tanpa menggunakan baju dinas PDL dan senjata di tangan. Momentum 4
Desember dapat kita jadikan sebagai bahan renungan dan pertimbangan bagi
kita, betapa pahitnya perjuangan kita dulu, hendaklah jangan dianggap
sepele oleh kawan-kawan kita hari ini, umur perjuangan sudah memasuki 38
tahun.
Setelah
sembilan tahun penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) belum ada tanda-tanda keseriusan pemerintah RI untuk
menutup rapat ide-ide pemberontakan dalam negara. Oleh karena itu kami
selaku anak bangsa yang telah berjanji dan telah menandatangani hitam
diatas putih untuk melupakan keinginan merdeka pisah dari NKRI.
Seharusnya pemimpin Indonesia menanggapi secara serius, bukan
menyepelekan tandangan Perdana Menteri GAM (Malik Mahmud Al Haytar).
Karena begitu sulitnya untuk merintis sebuah perdamaian dengan
menghentikan perang dengan senjata dan membubarkan pasukan perang yang
sudah terlatih dan sudah bersumpah "Hidup Merdeka Mati syahid". Ini
slogan prajurit GAM daripada Ta Hudep dalam kehinaan leubeh jroh ta mate
dalam kemuliaan (Daripada kita hidup dalam kehinaan lebih baik kita
mati dalam kemuliaan).
Ucapan
sumpah prajurit GAM, semua dengan nama Allah, semua demi Allah dan demi
Rasulullah. Jelas sumpah itu bukan main-main karena kunci utama dalam
memperkuat perdamaian adalah dengan cara merekrut kembali dan membina
prajurit GAM yang se-ideologi dengan pimpinan GAM yang sudah siap
berdamai, bukan mengabaikan mereka begitu saja. Inilah yang sering saya
tulis di jejaring sosial facebook. Karena membubarkan sayap Militer GAM
tanpa pembinaan dan ketrampilan ataupun bimbingan cara hidup dalam
Negeri Damai dan cara hidup tanpa kekerasan, sama saja dengan memelihara
anak harimau lalu melepaskan ke pemukiman penduduk. Biarpun anak
harimau kelihatan jinak, tetapi sesekali ia akan menggigit jika
kelaparan.
Hal ini
yang perlu kita fahami bersama bahwa menelantarkan Mantan Tentara GAM
sama juga dengan membiarkan bangkitnya kembali semangat perlawanan
rakyat terhadap negara. Maka jika ingin menyelesaikan permasalahan Aceh
secara permanen, mari bangkitkan semangat juang untuk perdamaian, jangan
cuma damai di mulut tapi masih perang di hati.
Sudah 7
kali berganti presiden 7 kali rakyat Aceh tertipu, maka dengan momentum
hari jadi GAM yang ke 38, mari kita peringati bersama sebagai hari
bersejarah dan kita tinggalkan cara-cara kekerasan terus kita kenang
masa-masa sulit selama 38 tahun. Hari ini adalah hari lahirnya
perjuangan rakyat Aceh, mari kita lupakan masa suram dan kita mulai
berjuang dengan cara-cara damai, mari kita lupakan ide merdeka pisah
dari NKRI dan kita ganti dengan Gerakan Aceh Merdeka dalam NKRI (GAM
dalam NKRI). Inilah ketulusan hati kami demi merawat perdamaian yang
sudah tercapai.
Demi
permanenisasi perdamaian yang telah tercapai, inilah kesefahaman bersama
yang tidak ada paksaan, karena berdamai bukanlah menghentikan
perjuangan secara total, tapi berdamai hanya demi menghindari jatuhnya
korban rakyat Aceh dan melanjutkan perjuangan dengan cara-cara politik
dan diplomasi. Kita berdamai bukan karena keterpaksaan, tetapi kita
berdamai dengan ketulusan hati. Memperingati Milad GAM hari ini bukan
juga untuk mengorek luka yang sudah lama kering, tetapi memperingati
Milad GAM setiap 4 Desember hanya untuk mengkampanyekan perdamaian.
Semoga
dengan Milad GAM yang ke 38 menjadi inspirasi bagi kita yang cinta
perdamaian dan cinta perjuangan. Kita semua tidak ingin kembali kemasa
lalu tetapi yang kita inginkan masa depan Aceh lebih baik dari masa
lalu. Menyangkut tentang penghentian permusuhan antara TNI/Polri dan TNA
GAM tidak lain hanyalah untuk menghindari jatuhnya korban di pihak
sipil yang tak berdosa. Penghentian permusuhan hanya demi menyelamatkan
rakyat Aceh, karena selama 38 tahun konflik Aceh, lebih kurang sepuluh
ribu nyawa melayang, sedangkan cita-cita bangsa belum sepenuhnya
tercapai. Perjuangan suci harus kita awali dengan niat yang suci, jangan
biarkan kesucian ini dinodai oleh pihak-pihak yang ingin mengambil
manfaat diatas penderitaan rakyat.
Kita
sudah melewati masa-masa sulit dan kita sudah berhenti berjuang dengan
senjata. Hari ini kita serahkan sepenuhnya kepada eksekutif, legislatif
serta DPD/Senator, DPR RI asal Aceh untuk memperjelas status Aceh pasca
penandatanganan MoU damai antara RI dan GAM. Apakah status Aceh daerah
Khusus dalam NKRI atau MoU cuma sandiwara petinggi Republik Indonesia.
Jika UU PA tidak terealisasi, lebih baik mundur saja para wakil rakyat
Aceh yang selama ini suka mengobral janji diatas pentas dan di media,
atau lupakan saja Aceh dan jangan lagi bawa-bawa nama Aceh untuk
kepentingan pribadi.
Hari ini
kita perlu mengawasi dan mengoreksi diri, khusus dalam internal jama'ah
perjuangan Aceh. Karena siapapun yang menyetujui perubahan pada bendera
Aceh yang telah disahkan oleh DPRA, siap-siap menerima kehancuran
politiknya dan siap-siap juga dicap "Pengkhianat" oleh bangsa Aceh. Kita
boleh saja meminta maaf pada orang yang masih hidup hari ini, tetapi
bagaimana caranya kita meminta maaf kepada ribuan orang yang telah
meninggal demi perjuangan suci ini, demi membela harkat dan martabat
rakyat Aceh, demi bendera warisan indatu. Sudah cukup mantan Gubernur
Aceh yang mengkhianati bangsa Aceh, karena Gubernur lama sama sekali
tidak mencoba mengimplementasikan UU PA semasa menjabat sebagai Gubernur
Aceh.
Oleh
karenanya bagi pejuang Aceh yang ada dalam lingkaran kekuasaan hari ini,
baik yang di legislatif Aceh, DPD RI, DPR RI dan eksekutif Aceh jangan
lagi mengikuti jejak Pang Tibang, yang mengorbankan rakyat demi
kekuasaan. Kekuasaan bukan untuk mengabdi pada rakyat dalam melanjutkan
cita-cita perjuangan tetapi kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi
dan kelompok tertentu. Dikhianati itu sangat sakit rasanya. Masalah
Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang belum selesai sampai saat ini,
sebetulnya tidak ada hambatan lain, hanya saja karena sifat plin-plan
Gubernur Aceh sekarang. Andai saja Abu Doto atau Gubenur H. Zaini
Abdullah berani dan tegas masalah bendera Aceh, pasti sudah kelar dalam
satu tahun beliau menjabat.
Jika
dalam masa setahun Abu Doto menjabat Gubernur dan beliau langsung
memanggil seluruh Bupati/Walikota untuk membahas soal Qanun Bendera
Aceh, kemungkinan bendera Bintang Bulan sudah berkibar di setiap
instansi di seluruh kabupaten/kota di Aceh. Pemerintah pusat sudah tidak
punya lagi celah hukum untuk mencabut Qanun Bendera dan Lambang Aceh,
karena sudah melewati masa waktu 60 hari. Jika itu dilakukan maka sangat
keliru ataupun sangat tidak logis Qanun Bendera dan Lambang Aceh
dijadikan alat bargainning untuk negosiasi masalah RPP bagi hasil migas.
Para
elit politik Aceh yang ada di eksekutif, legislatif Aceh maupun di
legislatif pusat serta saudara senator asal Aceh yang ada di Senayan,
janganlah terkecoh dengan isu yang dihembuskan oleh si Pak Tedjo
Menkopolhukam. Jangan baru dikatakan Aceh boleh mengelola migas sampai
200 mil dari garis bibir pantai anda terus latah dengan cepat
mengangguk-anggukkan kepala, untuk segera mengubah Bendera Aceh.
Sebetulnya anda belum tahu berapa persen pembagian hasil Aceh dengan
pusat, tapi anda sudah mengangguk-angguk (pu hom neuh meuka neu agoek
ajue). Karena di Aceh, Bendera Bintang Bulan itu harga mati dan anda
tahu akibatnya jika menyetujui perubahan pada Bendera dan Lambang Aceh.
Jika itu
terjadi, maka jangan harap perdamaian Aceh akan terus berlanjut.
Bendera saja diubah apalagi untuk berbicara tentang kelangsungan hidup
rakyat banyak. Begitulah anggapan orang Aceh nantinya pada pemimpin Aceh
hari ini jika mengubah Bendera Aceh. Jika itu terjadi maka obok demi
obokan dan letusan senjatapun akan terdengar lagi, karena penyakit lama
akan segera kambuh lagi. Ribuan nyawa sudah melayang, ribuan rakyat Aceh
telah jadi korban hingga tidak cukup tinta pena untuk kita tulis apa
yang sudah terjadi, betapa besarnya pengorbanan rakyat Aceh untuk
perjuangan ini, walau berakhir dengan damai, tapi harapan kita damai
bermartabat dan saling menghargai antar pihak.
Yang
penting kita harus ingat satu hal ! Ribuan nyawa melayang karena
mempertahankan harkat dan martabat, rakyat Aceh rela mati demi bendera
itu. Jika saudara-saudara tidak mampu memperjuangkan turunan UU PA, baik
itu RPP Migas, PP Pertanahan serta Bendera dan Lambang Aceh, lebih baik
saudara-saudara mundur dari jabatan, karena jabatan itu adalah amanah
rakyat bukan teumpat meuleumak dengan kemewahan yang difasilitasi oleh
negara dengan uang rakyat.
Untuk
mahasiswa dan pemuda Aceh harus ikut berpartisipasi memperjuangkan
kejelasan turunan UU PA, jika UU PA tidak terealisasi dalam waktu dekat
ini, kita semua harus bersikap tegas pada eksekutif dan legislatif di
Aceh. Sesegera mungkin kita gerudheuk seluruh instansi Pemerintah Aceh.
Sesungguhnya kekuatan terbesar di Aceh berada di tangan mahasiswa dan
pemuda Aceh oleh karena itu jangan disia-siakan waktu kita, terus
memantau dan menyuarakan tentang implementasi UU PA sesuai dengan
poin-poin perjanjian damai. Semoga penderitaan kita di masa lalu akan
menjadi sebuah kekuatan untuk meraih masa depan yang lebih gemilang.
Karena apapun yang kita dapatkan di dunia ini tidaklah kekal, begitu
juga dengan pangkat dan jabatan itu semua hanya bersifat sementara,
namun hendaklah kita memelihara damai ini untuk membangun kembali apa
yang telah hancur.
Harapan
kita bersama, perdamaian ini menjadi perdamaian yang terakhir dan
perdamaian yang hakiki karena kekacauan dan kehancuran akan merusak
negeri. Biarpun kita tidak bisa menyembuhkan luka tetapi kita tidak
perlu lagi menyakiti. Karena tidak semua pendapat itu sama dan sejalan
apa yang kita fikirkan. Dan tak semua sehaluan apa yang kita rancangkan,
perbedaan pendapat hal yang lumrah. Maka dari situlah kita belajar
tentang arti saling menghargai. Orang bijak itu pandai menghargai dan
memotivasi orang lain walaupun ia tidak sesuai dengan keyakinan itu.
Semoga dengan perdamaian ini para mantan kombatan bisa hidup layak dan
bisa berdampingan dengan seluruh masyarakat Aceh menuju Aceh yang lebih
sejahtera, Aceh lebih maju dan Aceh lebih jaya. Selamat Milad GAM ke 38.
Penulis: Imran Nisam adalah seorang mantan kombatan asal Nisam Aceh Utara yang cinta perdamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar